CERPEN : Saparan Bekakak di Yogyakarta - Salwa Salsabila 7F SMPN 135 JAKARTA
Indonesia bagian dari pandemi penyakit korona virus 2019 (COVID-19) yang sedang berlangsung di seluruh dunia. Penyakit ini disebabkan oleh korona virus sindrom pernapasan akut berat 2 (SARS-CoV-2). Kasus positif COVID-19 di Indonesia pertama kali dideteksi pada tanggal 2 Maret 2020, ketika dua orang terkonfirmasi tertular dari seorang warga negara Jepang.
Kasus positif yang pertama kali dikonfirmasi pada bulan Maret bukanlah orang Indonesia pertama yang terinfeksi virus SARS-CoV-2. Pada bulan Januari, seorang pembantu rumah tangga Indonesia di Singapura tertular virus dari majikannya.
Kematian pertama akibat COVID-19 di Indonesia terjadi pada 11 Maret 2020. Walaupun demikian, seorang karyawan Telkom meninggal dunia pada 3 Maret dan baru dinyatakan positif COVID-19 pada 15 Maret, sekaligus menulari istri dan anaknya.
Pandemi virus Corona COVID-19 yang mewabah hampir di semua negara telah memberikan dampak begitu besar kepada masyarakat dunia, mulai dari ancaman kesehatan, kehidupan yang tak lagi normal, hingga kesejahteraan hidup yang terganggu akibat roda perekonomian yang tidak berjalan dengan baik.
Dengan adanya pandemi ini pemerintah menerapkan tatanan hidup baru, seluruh masyarakat akan hidup dengan suasana yang baru, suasana yang mengedepankan tentang pola hidup bersih dan sehat.
Kebiasaan untuk mencuci tangan dengan sabun dan air mengalir, memakai masker saat keluar rumah, menjaga jarak dan menghindari kerumunan orang yang sangat banyak, terbiasa untuk tinggal di rumah untuk hal yang tak perlu dilakukan di luar rumah, menjadi tatanan hidup baru yang dilakukan masyarakat ke depannya.
Sedih rasanya, tetapi itulah hal terbaik yang dapat kita lakukan saat ini demi untuk keberlangsungan hidup, kesehatan kita, dan kesehatan orang orang yang kita sayangi. Kita harus bisa mengadaptasi kebiasan baru tersebut.
Pandemi ini menggugurkan niat pulang kampung, ziarah makam mbah, dan silaturahmi dengan keluarga besar Papa di Jogjakarta dan keluarga Mama di Bandar Lampung. Dua hari raya umat Islam di tahun 2020 ini silaturahmi keluarga besar kami lakukan dengan panggilan video.
Do’a ku pandemi ini segera berakhir dan kembali ke kehidupan normal lagi,
“Bosen gak si guys di dalam rumah saja, belajar daring, gak bisa lakukan hal hal seperti biasa pada umumnya.”
Andaikan pandemi ini berakir akan ku tebus kerinduan pada kampung halaman dan keluarga besar ku.
Ku rindu suasana perjalanan ke kampung halaman serta destinasi wisata baru yang terposting di Ig story.
Sebelas jam perjalanan darat melalui jalur selatan, dan delapan jam perjalanan darat melalui tol Cipali keluar di Boyolali, bila kita datang dari arah kota Jogjakarta kearah barat melalui Jalan Wates, Perempatan Delingsari tepatnya di KM 5, sebelah kiri jalan ada Gapura cagar budaya Gunung Gamping, Ambarketawang,
Melintas di bawahnya serasa aku sudah kembali kerumah kedua, terbayang segarnya air untuk menyeka seluruh peluh badanku yang sudah terasa lengket, dan ramah sambutan sepupu sepupu ku.
Sebelum tiba dirumah kira kira 300 meter dari gapura tersebut di sebelah kiri terlihat menjulang Situs Gunung Gamping yang bersebelahan dengan situs keraton Ambarketawang, hanya saja dari jalan situs Keraton Ambarketawang tidak kelihatan, karena tertutup barisan bangunan rumah masyarakat.
Roda mobil melambat ketika melewati perempatan jalan, dimana di sisi kiri terlihat jelas pemakaman serta situs Gunung Gamping, teringat jelas di ingatanku ramainya saat masyarakat saat itu digelar tradisi “Saparan Bekakak”. Bekakak berarti korban penyembelihan hewan atau manusia. Tradisi penyembelihan bekakak pada saparan ini hanya tiruan manusia saja, berwujud sepasang pengantin yang terbuat dari tepung beras ketan yang digelar setiap tahunnya di bulan Sapar dalam Kalender Jawa. Tradisi ini untuk mengenang dan menghargai jasa Ki Wirasuta dan Nyai Wirasuta yang sudah setia mengabdi di pesanggrahan Ambarketawang hingga akhir hayatnya. Selain itu, upacara adat ini juga dimaknai sebagai ritual tolak bala.
Ki Wirasuta dan Nyai Wirasuta adalah sosok yang dipercaya sebagai abdi Sultan Hamengkubuwono I, ketika tinggal di pesanggrahan Ambarketawang. Keduanya meninggal ketika terjadi musibah longsornya Gunung Gamping di dekat pesanggrahan Ambarketawang di bulan Sapar. Namun ketika Sri Sultan Hamengkubuwono I mengutus untuk mencari jasad keduanya, Ki Wirasuta dan Nyai Wirasuta dinyatakan hilang karena jasadnya tidak dapat ditemukan. Hilang nya Ki Wirasuta dan Nyai Wirasuta di Gunung Gamping ini menimbulkan keyakinan pada masyarakat sekitar bahwa jiwa dan arwah Ki Wirasuta tetap ada di Gunung Gamping.
Mobil yang ku tumpangi masih jalan merambat karena ramainya lalu lalang sepeda motor mahasiswa penghuni kost sekitar daerah sini. Dari gang samping warung sisi kiri jalan terlihat situs keraton Ambar ketawang yang tersisa sisa dinding sisi bagian barat setingi kurang lebih 3 (tiga) meter.
Dari situs Keraton Ambarketawang inilah awal mula keraton Jogjakarta.
Berdirinya Kota Jogja tak lepas adanya Perjanjian Gianti pada 13 Februari 1755. Perjanjian tersebut membagi Mataram menjadi dua wilayah. Setengah masih menjadi hak Keraton Surakarta, setengah lagi menjadi milik Pangeran Mangkubumi. Setelah perjanjian pembagian daerah itu, Pangeran Mangkubumi yang telah berganti nama menjadi Hamengku Buwono (HB) I segera menetapkan bahwa Daerah Mataram yang ada di dalam kekuasaannya diberi nama Ngayogyakarta Hadiningrat dan beribukota di Ngayogyakarta (Jogja). Itu terjadi pada tanggal 13 Maret 1755.
Sebelum keraton berdiri, Hamengku Buwono (HB) I membangun keraton pertamanya di Desa Ambarketawang, Kecamatan Gamping, Sleman. HB I secara resmi menempati pesanggrahan Ambarketawang pada 9 Oktober 1755. Setahun kemudian HB I memasuki istana baru yang ada di lokasi keraton saat ini, di mana masuk wilayah Kota Jogja.
Perpindahan dari Pesanggrahan Ambarketawang ke Keraton Ngayogyakarta berlangsung pada 7 Oktober 1756. Tanggal inilah yang akhirnya ditetapkan sebagai hari ulang tahun Kota Jogja. Pada masa itu, Gunung Gamping juga dimanfaatkan oleh penduduk sebagai tambang batu kapur untuk pengganti semen. Kapur itu digunakan untuk membangun banyak fasilitas penting seperti jembatan, Keraton Yogyakarta, istana air Taman Sari, dan Banteng Baluwarti. Dalam waktu yang bersamaan Hamengku Buwono (HB) I membangung keraton Jogja, saat membangun kawasan perkotaan, HB I menerapkan konsep caturgatra. Yakni keraton sebagai pusat pemerintahan, masjid sebagai pusat keagamaan, pasar sebagai pusat perdagangan, dan alun-alun sebagai ruang publik.
Perpindahan dari Pesanggrahan Ambarketawang ke Keraton Yogyakarta berlangsung pada tanggal 7 Oktober 1756. Tanggal inilah yang akhirnya ditetapkan sebagai hari ulang tahun Kota Jogja. Kini objek yang sejak 1989 ditetapkan sebagai Kawasan cagar alam dan taman wisata itu seolah menjadi saksi bisu terbentuknya Pulau Jawa.
Bunyi klakson mobilku menyadarkanku dari lamunan bayangan massa lalu yang terjadi di situs cagar budaya tersebut, saat ini aku sudah berada dipertigaan jalan dimana ditenga pertigaan jalan itu terdapat Tugu putih menyerupai tugu Jogja, mobilku berbekok kekanan dan tibalah aku dirumah keluarga besar Papaku.
Tak hentinya ku bersyukur dan selalu kuberi do’a semoga pandemi ini berakhir.
Karya : Salwa Salsabila
Kelas : 7F
Contact Information
RT.15/RW.7, Pd. Bambu, Kec. Duren Sawit, Kota Jakarta Timur, Daerah Khusus Ibukota Jakarta